Montero Nuel

Beberapa hari lalu gue duduk sendiri di bangku stasiun. Nggak nunggu siapa-siapa, cuma lagi butuh diem sebentar. Stasiun itu rame, orang-orang lalu lalang buru-buru, tapi kepala gue justru kosong. Nggak ada suara to-do list, nggak ada notifikasi masuk, dan yang paling penting: nggak ada rasa dikejar. Rasanya kayak napas pertama setelah lama nahan. Kayak otak akhirnya bilang, “udah ya, istirahat dulu.”
Gue jadi mikir, ini tuh namanya tenang kali, ya. Tapi kenapa tenang makin ke sini makin langka? Dulu waktu kecil, tenang itu gampang. Cuma butuh cemilan dua ribu, terus main ke rumah temen yang punya PS2. Nggak banyak beban, nggak banyak pikiran. Sekarang, bahkan tidur pun bisa jadi tempat paling rame di dunia.
Soalnya isi kepala kita udah kayak pasar malam. Ada yang ribut soal kerjaan, ada yang teriak soal ekspektasi orang, ada juga yang nyanyi lagu patah hati di tengah-tengah. Tenang, jadinya bukan soal keadaan di luar. Tapi soal gimana kita beresin dalamnya. Tenang tuh bukan berarti nggak ada masalah, tapi waktu kita udah nggak ngelawan terus. Kayak lo bilang ke pikiran sendiri, “oke, gue dengerin, tapi pelan-pelan ya.”
Gue sadar, selama ini mungkin gue salah definisi. Gue kira tenang itu waktu semua masalah selesai, waktu hidup adem kayak Senin libur. Tapi ternyata tenang itu waktu kita nerima kalau nggak semua bisa selesai sekarang. Dan itu nggak apa-apa. Nggak semua hal harus buru-buru. Nggak semua luka harus langsung sembuh hari ini.
Ada momen di hidup yang nggak bisa dilawan dengan solusi. Tapi bisa dilewatin dengan duduk sebentar dan bilang ke diri sendiri, “gue lagi capek, dan itu wajar.” Tenang itu bukan waktu semua baik-baik aja, tapi waktu lo berhenti nyoba kontrol semuanya. Karena makin lo coba kontrol semuanya, makin semuanya terasa berantakan. Kadang diem sebentar lebih masuk akal daripada cari cara biar semua selesai. Karena hati juga butuh ruang buat napas.
Gue jadi inget, dulu waktu kecil, gue nggak pernah mikir soal “gimana caranya bisa tenang.” Tenang itu udah otomatis, default setting. Tapi makin gede, makin banyak distraksi, makin banyak suara dari luar dan tenang jadi barang mahal. Kita jadi sering ngerasa salah kalau nggak ngapa-ngapain, padahal diem juga bagian dari hidup. Mungkin kita cuma lupa caranya ngerem. Lupa kalau nggak semua jalan harus dikebut.
Sekarang gue belajar tenang itu artinya: nerima. Bukan pasrah, tapi ngerti batas. Ngerti kalau kadang satu-satunya yang bisa dilakuin adalah ngebiarin semuanya lewat dulu. Kayak kereta di stasiun, lo nggak harus naik semuanya. Ada kalanya lo cukup duduk, liat yang lewat, dan bilang: belum waktunya gue jalan.
Dan lucunya, dari semua hal yang pernah bikin gue tenang, hampir semuanya dimulai dari “gue nggak ngelawan.” Nggak maksain jadi kuat, nggak pura-pura baik-baik aja. Kadang diem dan ngaku “gue nggak tau harus gimana” itu lebih jujur daripada ribut nyari solusi. Mungkin itu kenapa banyak orang ketemu tenang pas mereka sendiri. Karena suara yang bikin ribut kebanyakan datang dari dalam.
Jadi kalau lo lagi ngerasa capek, penuh, atau otak lo kerasa kayak browser dengan 30 tab terbuka, mungkin lo nggak butuh solusi. Mungkin lo cuma butuh duduk. Nggak ngapa-ngapain, nggak nyoba apa-apa. Cuma ngerasain apa pun yang lagi lo rasain, dan bilang ke diri sendiri, “gue masih hidup, dan itu cukup.” Karena kadang, tenang bukan tujuan. Tapi hadiah dari berhenti berusaha kelihatan baik-baik aja.